Featured Post 1 Title

Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.Download more free blogger templates from www.premiumbloggertemplates.com.

Read More

Featured Post 2 Title

Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.Download more free blogger templates from www.premiumbloggertemplates.com.

Read More

Featured Post 3 Title

Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.Download more free blogger templates from www.premiumbloggertemplates.com.

Read More

Featured Post 4 Title

Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.Download more free blogger templates from www.premiumbloggertemplates.com.

Read More

Featured Post 5 Title

Replace these every slide sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.Download more free blogger templates from www.premiumbloggertemplates.com.

Read More

Join The Community

Kamis, 16 September 2010

SIGONG

Pada masa perkembangan Islam yang pesat di tanah Jawa khususnya di Cirebon yang dimotori oleh Sunan Gunung Jati pada masa itu, tidaklah heran apabila banyak orang yang ingin berguru untuk memperdalam ajaran Islam, karena mereka yakin bahwa Agama Islam merupakan tuntunan bagi umatnya baik untuk di dunia maupun di dalam kelanggengan (akhirat).

Para santri / murid yang sudah pernah berguru pada Sunan Gunung Jati merasa terpanggil untuk ikut serta dalam penyiaran agama Islam di tanah Cirebon sesuai dengan petunjuk dan amanat yang telah ditanamkan kepada seluruh para santri-santrinya selama menimba ilmu yang begitu cukup lama.

Diantaranya para santri / murid yang berguru pada Sunan Gunung Jati, Ki Kanum dan Ki Serut merupakan murid yang dapat dipercaya untuk ikut ambil bagian dalam penyiaran Agama Islam. Hingga pada suatu saat Ki Kanum dan Ki Serut mendapat tugas untuk menyiarkan Agama Islam di wilayah timur Cirebon.

Setelah mendapat tugas yang mulia dari Sunan Gunung Jati mereka mohon diri dan mohon do’a restu untuk berangkat sesuai yang telah diamanatkan oleh Sunan Gunung Jati.

Kepergian mereka dalam pengembaraannya, dilakukan dengan rasa senang hati, walaupun harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan dari hari ke hari, minggu berganti minggu bahkan bulan berganti bulan, keluar hutan masuk hutan, hingga pada suatu saat ia berada di sebuah hutan belantara yang sangat subur makmur, maka disitulah mereka lalu membuat tempat untuk berteduh, semakin lama mereka berada di tempat tersebut semakin betah, karena alam yan gegitu subur juga aliran sungai / kali yang mengalir cukup jernih airnya, lalu mereka mencoba untuk totor alas (hutan) untuk dijadikan pemukiman dan ladang mereka untuk kehidupan sehari-hari.

Meninggat ladang yang mereka garap sangat subur, sehingga hasilnyapun sangat memuaskan, sehingga lama kelamaan pemukiman tersebut banyak didatangi oleh orang-orang yang ingin mencari kehidupan baru. Kedatangan orang-orang tersebut oleh Ki Kanum dan Ki serut disambut dengan rasa senang hati sambil diajarkan cara tanam pada ladang yang ia garap. Sedangkan pada waktu lama hari mereka diajarkan tentang ajaran Agama Islam hingga larut malam.

Tentu saja dengan rasa senang hati mereka belajar di segala bidang ilmu, maka Ki Kanum dan Ki Serut dianggap orang yang berjasa karena dapat memberikan ilmu pengetahuan pada orang-orang yang masih belum mengerti.

Ki Kanum merupaka orang yang sangat sakti, juga orang yang arif dan bijaksana, didalam membimbing ia sangat Jawes dan tegas, sehingga orang merasa segan kepada Ki Kanum. Di tempat tersebut kehidupannya sangat tentram ayem tak seorangpun berani mengganggunya, walau pada masa itu banyak begal / perampok, tapi tak seorangpun yang berani mengusik ketenangan yang ada dilokasi tersebut.

Diwilaya pemukiman itu terdapat kali yang bernama Kali Ciamis, di kali tersebut dengan secara tiba-tiba menjadi suatu daratan yang dapat digunakan sebagai ladang pertanian, dls.

Ladang tersebut setelah dikelolah hasilnya sangat memuaskan, sehingga mereka semakin rajin mengelolah ladang tersebut. Sedang asyik-asyiknya ia menggarap / mencangkul, tiba-tiba diketemukan sebuah alat kesenian berupa goong, kemudian benda tersebut ia rawat dengan baik, bahkan dapat dipergunaka manakala mau mengadakan musyawara dengan memukul goong tersebut musyawara yang biasa mereka pergunakan pada waktu menerima ilmu / petunjuk-petunjuk dari Ki Kanum, sehingga tempat tersebut dinamakan Sigong.

Pada waktu sore hari menjelang Ashar banyak orang-orang yang mau mandi dan mengambil air wudlu untuk sholat Ashar, kebanyakan orang yang mandi di kali Ciamis itu adalah orang yang dianggap masih mempunyai darah biru / orang agung, sehingga kali tersebsut sampai sekarang dinamakan Kali Agung.

Lama kelamaan pemukiman tersebut berkembang dengan pesat, walaupun yang ada di daerah itu satu sama lain merupakan orang pedatang, akan tetapi ia hidup rukun dan damai, berkat bimbingan dan didikan Ki Kanum yang telah ditanamkan kepada mereka. Ki Kanum dan Ki Serut semakin lanjut usianya, hingga pada suatu saat ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Untuk melanjutkan cita-cita yang menuju masyarakat mengerti tentang ajaran Islam kepada anak cucu kita kelak dikemudian hari, maka Embah Kuwu Bagong meneruskan
Embah Kuwu Bagong merasa perlu menjalin kerjasama dengan Ki Kholil Asmanudin dari Ender, untuk merintis dan mengembangkan ajaran Islam kepada anak didiknya dengan mendirikan sebuah pesanten yang diberi nama Salafiyah yang hingga sampai saat sekarang masih berkembang di Desa Singong.

SENDE

Di kaki gunung Ciremai ada sebuah pedukuhan namanya pedukuhan Gunung Pala, disebelah selatan Lengkong yang termasuk wilayah Rajagaluh. Disitu Nyi Mawas dan seorang anaknya berada. Tentunya Nyi Mawas sayang kepada anaknya yang satu-satunya itu Kemanapun Nyi Mawas pergi selalu anaknya dibawa serta seolah-olah tidak mau lepas dengan anaknya.

Ketika anaknya menginjak masa remaja dalam hatinya mampunyai keinginan untuk mandiri dan mencari pengalaman lain diluar kehidupan sehari-harinya di Pedukuhan Gunung Pala. Diberanikannya berbicara memohon ijin kepada ibunya, tentang keingnannya itu. Akan tetapi ibunya melarang anaknya peregi meninggalkan pedukuhannya dan meninggalkan ibunya pula. Karena keinginan yang sangat kuat, maka pada suatu, tanpa pamit kepada ibunya pergilah anaknya itu meninggalkan ibunya.

Sepeninggalan anaknya, Nyi Mawas merasa kehilangan, seolah kehidupannya kosong tiada pegangan. Dengan hati gunda dicarinya anaknya itu, langkah kakinya membawahnya pergi meninggalkan Pedukuhan Gunung Pala menuju arah utara menurut kata hatinya.

Lama sudah Nyi Mawas berjalan, lupa makan juga lupa tidur, yang ada dibenaknya hanyalah bayangan anaknya, ingin rasanya segera berjumpa dengan anaknya. Dalam perjalanan dengan tenaga yang loyo dan berjalan dengan kaki tertatih-tatih dikuatkannya untuk berjalan. Karena sangat lelahnya Nyi Mawas menghentikan perjalanannya, istirahat dan “nyender” di bawah pohon serut sambil melakukan tapa. Orang-orang sekitarnya pada geger karena ada seorang wanita “nyender” berhari-hari tidak mau bangun. Dari mulut ke mulut penduduk setempat mengatakan “ ada orang nyender……, ada orang nyender……….”, maka daerah itu disebutlah Pedukuhan Sende, dari kata dasar nyender artinya bersandar. Kemudian berkembang menjadi Desa Sende, sekarang termasuk wilayah kecamatan Arjawinangun. Mata pencaharian penduduk mayoritas bertani, adapula pedagang dan sebagian pegawai.

Tanpa ada yang tahu, Nyi Mawas meninggalkan tempat istirahatnya dan meneruskan perjalanan ke arah utara, yaitu ke Sukudana Kebupaten Indramayu. Di Sukanda Nyi Mawas menemui ketenangan dalam hidupnya dan bersuamikan peduduk setempat. Mempunyai keturunan seorang putri bernama Nyi Saritem / Nyi Item. Sampai akhir hayatnya Nyi Mawas dikuburkan di Sukanada.

Adapun nama-nama Kepala Desa Sende yang diketahui :
1. Ki Martani : 1950 – 1962
2. Kadug : 1962 – 1972
3. Basari : 1972 – 1980
4. Aspilin : 1980 – 1990
5. Madkari : 1990 – 1999
6. Wira : 1999 –

PURWAWINANGUN

Kira-kira 3 km di sebelah utara pengguron Agama Islam Puser Bhumi Setana Gunung Jati terdapat Pasar Celancang yang padat dengan para pedagang dan pembeli dari bebereapa desa yang berada di wilayah kecematan Kapetakan, Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Weru. Dilewati jalur jalan raya Cirebon – Indramayu dan angkutan pedesaan Celancang – Plered.

Sebelum adanya pasar Celancang, di lokasi balai Desa Purwawinangun dulu ada pasar yang dikenal dengan sebutan Pasar Gentong. Karena disitu letak persinggahan para penjual “getak” dengan cara dipikul dari jamblang yang diantaranya barang-barang tersebut adalah gentong, anglo, celengan semar-semaran, padasan dan sebagainya, untuk dijajakan ke daerah lain.Kemudian karena terlalu padatnya dengan para pedagang dan sebelah selatan yang sekarang dikelan dengan sebutan Pasar Celancang.

Nama Celancang itu sendiri berasal dari kata “nyancang” atau tempat menambatkan perahu di Bengawan Celancang. Keterangan ini diperkuat dengan catatan peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1415 Masehi. Saat itu telah berlabuh lebih dari seratus perahu besar dari Cina dibawah pimpinan Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho dengan membawa sekitar 27.800 orang prajurit. Yang bermaksud membeli perbekalan yang sudah habis, seperti air dan berbagai bahan makanan sebagai bekal di perjalanan ke kerajaan Majapahit di jawa Timur. Mereka diperintahkan oleh maharaja Cina yang bergelar Yu Wang Lo ataut disebut namanya Cheng Tu dari Dinasti Ming. Kedatangan bala tentara Cina itu dikawal oleh bebereapa orang perwira dari Sumatra, yang diperintah oleh Sang Aditya Warman seorang ratu yang sejajar dengan kerajaan Majapahit.

Ratu Singapura sebagai Mangkubumi Kerajaan Sunda bernama Kyai Geng Jumjan Jati atau Kyai Geng Tapa yang merangkap pula sebagai juru labuhan atau Syah Bandar Muhara Jati. Menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Sang Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho memerintahkan kepada Khung Way Ping disertai beberapa prajurit lainnya agar membuat menara laut tepanya di sebelah timur Gunung Jati. Bahwa dibuatnya menara laut agar dapat diketahui dari lautan adanya pelabuhan. Pembuatan menara laut oleh bala tentara Cina, memaksakan mereka harus tinggal semalam tujuh hari tujuh malam. Selama itu seluruh bala tentara Cina yang datang mendapat penghormatan dari Ki Juru Labuhan dengan memberikan makan dan minum, yang masih tinggal di dalam kapal juga tidak dilewatkannya. Ketika itu Maharaja Sunda telah lama bersahabat dengan Maharaja Cina. Setelah selesai pembuatan menara laut, Ki Juru Labuhan menggantinya dengan garam, terasi, beras tuton, sayur mayor dan kayu jati. Menara laut tersebut dinamai Menara Te Ho (Pangeran Arya Carbon, 1720 M, Purwaka Caruban Nagari).

Desa Perwawinangun termasuk wilayah Kecematan Kapetakan Paling selatan semula terdiri dari tiga desa yang digabungkan, yaitu Desa Kecitran, Desa Muara dan Desa Pabean diperkirakan antara tahun 1930 sampai tahun 1940. Adapun Kuwu dari ketiga desa tersebut adalah Kuwu Hamzah di Desa Kecitran, Kuwu Siwan dan Kuwu Carman di Desa Muara, Kuwu Punuk dan Kuwu Satu di Desa Pabean, Dari penggabungan ke tiga desa itu terbentuk desa yang baru dinamai Desa Purwawinangun. Purwa artinya awal dan winangun artinya membangun, jadi awal pembangunan dari masyarakat tiga desa dalam satu kesatuan. Benda peninggalan berbentuk bareng (kemuang) sebanyak dua buah sama besar terbuat dari besi dengan diameter kira-kira 20 cm, sebutannya Ki Geger dan Nyi Beser. Kedua barang tersebut disimpan di rumah kuwu yang baru.

Kacitran diambil dari nama seorang tokoh panutan masyarakat bernama Ki Citra, kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Kecitran. Kehidupan Ki Citra mengabdikan diri kepada Ki Ageng Mertsinga bernama P. Sukmajanegara. Karena ketulusan dalam pengabdiannya, maka Ki Ageng Mertasinga menganggap saudara sendiri kepada Ki Citra, sampai akhir hayatnya Ki Citra dimakamkan di Desa Mertasinga sekarang.

Sebelum mengabdikan diri kepada P. Sukmajanegara di Mertasinga, Ki Citra telah membangun Masjid dan Sumur Marikangen.

Disamping memberikan pendidikan Agama Islam kepada penduduk, membereikan pula keterampilan, diantaranya adalah pertukangan bangunan, mewarnai kain (celep) dengan menggunakan cara tradisional dan kesenian Terbang. Mewarnai dengan menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan tumbahan daun ketapang muda, bila menghendaki warna merah, sedangkan bila mengiginkan warna hijau, kain itu direndam dalam lumpur, kemudian direndam pula pada larutan tumbuhan daun ketapang muda dicampur dengan tumbuhan daun ketapang kering.

Pabean aslal kata dari bea, semacam pungutan pajak bagi kapal yang berlabuh. Ketika itu telah banyak kapal dagang yang datang dari negeri lain seperti negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Madura, Makasar, dan Palembang. Ki Citra mempunyai saudara bernama Ki Bratayudha atau disebut pula Ki Jagayudha. Bratayudha berada di Blok Kecitaran Wetan.

Mata pencaharian masyarakat Desa Purwawinangun beragam, diantaranya adalah petani, nelayan pabela, pedagang dan ada pula pegawai. Persawahan yang ada masih bersifat tadah hujan dalam musim tanam sekali dalam setahun. Pada saat menjelang musim kemarau sebagian persawahan ditanami semangka dan pembuatan batu bata. Di Blok Pabean Wetan terdapat budidaya lele dumbo dengan jumlah balong sekitar 40 balong yang dikelola oleh 20 orang. Dan di Blok kacitra lor ada budidaya ikan hias dengan berbagai jenis ikan hias diantaranya adalah black mobil, marbel, blue siklid, nias dan sebagianya sekitar 8 jenis. Budidaya ikan hias dimulai sejak tahun 1991, pengelolahanya bernama Peri Harsono. Di Desa Purwawinangun terdapat pula sebuah Yayasan Fajar Hidayah yang menampung anak yatim piatu khususnya anak perempuan sekarang Yayasan tersebut nemampung 20 anak.
Nama-nama Kepala Desa Purwawinangun yang diketahui :
1. Carman :
2. Ralim : 1943 – 1963
3. Jabidi : 1963 – 1967
4. Taswira : 1967 – 1983
5. Darjaya (Pjs) : 1983 – 1987
6. Kaduri : 1987 – 1995
7. Suyoto : 1995 – 3002
8. Raliya, SH : 2003 – sekarang.

PRAJAWINANGUN

Pada abad ke 15 setelah dinobatkannya Syekh Syarif Hidayatullah menjadi sultan kerajaan Carbon 1 oleh Mbah Kuwu Cerbon Pangeran Cakra Buana, penyebaran ajaran Agama Islam semakin pesat, gemanya sampai terdengar di pusat pemerintahan kerajaan Padjajaran sehingga membuat gusar Prabu Siliwangi, Raja Pedjajaran. Namun tiada daya dan upaya karena yang menjadi Sultan kerajaan Islam Carbon dan sekaligus tokoh dalam penyebaran Agama Islam adalah cucunya sendiri, yaitu putra Nyi Mas Rara Santang, sedangkan Nyi Mas Rara Santang adalah putri Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subang Kranjang.

Melihat kenyataan ini Prabu Cakraningrat, Raja Kerajaan Galuh Pakuan, kerajaan bawahan dari Kerajaan Padjajaran amat sangat geream dan langsung memerintahkan pasukannya untuk mengadakan penyerangan untuk melumpuhkan kekuatan Kerajaan Islam Cirebon.

Mbah Kuwu Cerbon dengan ilmu kesaktiannya weruh sadurunge winara (mengetahui sebelum kejadian). Dapat memprediksi titik kelemahan dari Prabu Cakraningrat. Beliau menyarankan kepada Sunan Gungung Jati untuk memboyong putri Prabu Cakraningrat yang merupakan sekar kedaton Kerajaan Galuh Pakuan untuk dijadikan garwa sehir. Maka diperintahkanlah Ki Patih Semi untuk memboyong Sekar Kedaton Kerajaan Galuh Pakuan.

Dengan menggunakan ilmu Sirep, Ki Patih Semi berhasil masuk ke Kenyapuri (tempat kediaman putri raja tanpa di ketahui oleh siapapun termsuk pasukan Galuh Pakuan karena mereka tertidur pulas kena pangaruh ilmu Sirep Ki Patih Semi Suasana hening dan sepi tanpa seorangpun yang terjaga sehingga Ki Patih Semi dengan leluasa masuk kedalam tempat peradaan Sang Sekar Kedaton, kemudian Sang Putri berhasil diboyong oleh Ki Patih Semi.

Beberapa saat Kemudian mereka tersadar para dayang merasa terkejut melihat kenyataan di tempat tidur Sang Putri kosong Akhirnya mereka melapor ke Baginda Raja. Prabu Cakraningrat amat sangat murka mendengar laporan para dayang kemudian beliau memerintahkan seluruh pasukan Kerajaan Galuh untuk menangkap durjana yang memboyong Putri Raja.

Di luar keraton mereka menemukan sang duriana yang sedang berlari memboyong Putri Raja yang tidak lain adalah Ki Patih Semi, seorang patih kerajaan Islam Cerbon. Mereka mengepung Ki Patih Semi, maka terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Ki Patih Semi yang seorang diri dengan pasukan kerajaan Galuh.

Mengukur kemampuan yang ada pada dirinya dan mengangkat posisi yang tidak menguntungkan karena berperang sambil menggendong Sang Putri, maka dengan menggunakan ilmu peringan, tubuh Ki Patih Semi berlari dengan amat kencangnya, sehingga tidak dapat terkejar oleh ratusan pasukan Kerajaan Galuh.

Di perjalanan Ki Patih Semi bertemu dengan Ki Gede Suro Oleh Ki Gede Suro disarankan untuk kembali ke Kerajaan Galuh untuk menumpas pasukan Kerajaan Galuh, supaya aman dan mereka tidak akan menyerang Kerajaan Islam Cerbon.

Atas saran Ki Gede Suro, Ki Patih Semi kembali ke kereajaan Galuh, sedangkan Sang Putri di titipkan kepada Ki Gede Suro. Oleh Ki Gede Suro Putri itu di tempatkan di sebuah gubug di tengah-tengah telaga. Kemudian selanjutnya Putri itu di boyong oleh Ki Gede Suro untuk di persembahkan kepada Sultan Carbon, melewati suatu daerah. Maka daerah itu selanjutnya disebut Desa Suro Boyong (Suro=nama pelaku, boyong=memboyong putrid). Oleh masyarakat kemudian disebut Desa Srombyong.

Pada tahun 1916 semasa Pemerintahan Hindia Belanda dua desa bertetangga yakni Desa Srombyong dan Desa Blendung di marger menjadi satu desa. Pada waktu itu yang menjadi Wedana Arjawinangun adalah Wangsa Praja. Oleh Wedana nama desa tersebut diganti menjadi Prajawinangun (Praja=nama belakang wedana, Winangun=bertegas di kawedanan Arjawinangun).

Karena semakin banyak penduduknya, maka dengan pertimbangan untuk mempercepat laju pembangunan, peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan, maka pemerintah Daerah pada tahun 1983 memekarkan Desa Prajawinangun menjadi dua desa, yakni, Desa Prajawinangun Wetan dan Prajawinangun Kulon.

Nama-nama Kepala Desa Prajawinangun Wetan yang di ketahui :
1. Sarah : 1901 – 1913
2. H. Sidik : 1913 – 1916
3. Yakyah : 1916 – 1923
4. Tsabit : 1923 – 1924
5. Baleg : 1924 – 1932
6. Nursari : 1932 – 1935
7. H. Nasikin : 1935 – 1936
8. Sanyar : 1936 – 1945
9. Sokami : 1945 – 1950
10. Kadmita : 1950 – 1967
11. H. S. Maertha : 1967 – 1988
12. Djatmira : 1988 – 1999
13. Suyanto : 1999 – 2001
14. Toni : 2003

DESA PEJAMBON

Pada waktu para wali mengembangkan agama Islam di tanah Jawa khususnya di daereah Cirebon masih banyak pedukuhan-pedukuhan yang belum masuk Islam diantaranya padukuhan Dawuan dan padukuhan Pejambon.

Mendengar bahwa para wali di Cirebon menyebarkan agama Islam, akhirnya Ki Gede Dawuan mengajak Ki Gede Pejambon yang bernama Ki Marsiti untuk menyerang Cirebon. Mbah Kuwu Cirebon yang mendengar laporan bahwa Ki Gede Pejambon akan menyerang Cirebon, kemudian memerintahkan untuk Ki Sumerang yang dikenal dengan nama Ki Gede Bayulangu untuk menghadapi serangan Ki Gede Dawuan dan Ki Gede Pejambon.

Perang tandingpun tak bisa di hindari, masing-masing mengeluarkan ajian dan kesaktiannya, dan akhirnya Ki Sumerang atau Ki Gede Bayulangu mengeluarkan ajian andalannya yaitu ajian Gelap Sewu maka Ki Gede Pejambon kemudian menyerah dan bersedia masuk Islam.

Setelah Ki Gede Pejambon memeluk agama Islam, kemudian bersama-sama dengan Ki Gede lainnya membantu Mbah Kuwu Cirebon menyebarkan agama Islam. Pada akhirnya Ki Gede Pejambon meninggal di kebun (meninggal= pejah / bahasa jawa, kebun=kebon), sehingga tempat itu disebut Pejambon (pejah ning kebon), karena tersandung akar pohon labu hitam (walu ireng). Oleh karena ity sampai kini masyarakat Desa Pejambon tabu/pantang menanam labu.

Sedangkan kuburan Ki Gede Pejambon berada di komplek pemakaman Gunung Jati.
Beberapa tempat peninggalan / petilasan yang ada di desa Pejambon diantaranya :
1. Makam Ki Tataguna
2. Makam Ki Jagamangsa
3. Makam Ki Paduraksa
4. Makam Ki Patarwesa

Semuanya berbentuk makam dan lokasinya berbeda-beda. Di Desa Pejambon mempunyai adat atau tradisi yang mungkin tidak ada di temapt lain, yaitu apabila si istri di tinggal mati oleh suaminya dan kemudian si istri akan menikah lagi, maka sebelum si istri menikah, terlebih dahulu melakukan perceraian dengan almarhum suaminya layaknya orang yang masih hidup, bertempat di kuburan dan disaksikan oleh Lebe / Kaur Kersa dengan melakukan tahlilan terlebih dahulu.

Sebelum menjadi keluhuran Desa Pejambon termasuk ke dalam wilayah kecematan Cirebon Seslatan, namun pada tahun 1998 Desa Pejambon berubah status dari desa menjadi kelurahan, dan masuk kedalam wilayah kecematan Sumber.

Di kelurahan Pejambon juga terdapat sebuah bangunan atau cungkup tempat menyimpan benda-benda yang sudah berusia puluhan tahun. Cukup itu berisi patung / arca batu yang berbentuk wayang dan hewan, diantaranya patung anak putu semar, sehingga patung itu dikenal dengan nama patung SEMAR.

Lokasinya disebelah utara kantor Kelurahan Pejambon kurang lebih 300 meter dan berada dipinggir jalan raya.

Di bidang pendidikan kelurahan Pejambon memiliki :
─ Satu buah Madrasah Diniah Arrohmah
─ Dua buah Sekolah Dasar Negeri
─ Satu buah SLTP Negeri 3 Sumber

Batas-batas Kelurahan Pejambon :
─ Sebelah Utara : Desa Palir
─ Sebelah Timur : Desa Cempaka
─ Sebelah Selatan : Desa Gegunung
─ Sebelah Batar : Sungai Cipager

Nama-nama Kuwu / Kepala Desa Pejambon :
1. DURAUP (Tongkol)
2. SALIM : 1943 – 1965
3. KALIYA : 1965 – 1988
4. KASMINA : 1988 – 1997
5. SANAWI (Pejabat) : 1997 – 1998

Nama-nama Lurah di Kelurahan Pejambon :
1. Drs. MAMAT, MM : 1988 – 2000
2. Drs. HENDRA : 2000 – 2002
3. Drs. H. SUPADI : 2001 – 2002
4. SURYA : 2002 – 2003
5. Drs. R.DADANG HERYADI : 2003 –

ASAL MUASAL DESA PEGAGAN KAPETAKAN

Sebelum menjadi Desa Pegagan, wilayah ini dahulu kala terdiri dari hutan-hutan dan banyak rawa-rawanya. Karena hutan tersebut dipisahkan olah rawa-rawa dan sungai, maka Sunan Gunung Jati memberi nama wilayah itu Pulau Raja. Kemudian setelah hutan-hutan dibabad dan dibakar maka jadilah hamparan pesawahan yang sangat luas. Oleh penduduk tanah tersebut dijadikan lahan pertanian, disebut Pegagan. Maka bermukim di padukuan, sekarang Desa Dukuh. Melihat kesuburan tanah di Pegagan dan luasnya lahan yang tersedia, maka banyaklah penduduk yang berdatangan untuk ikut menggarap sawah dan ladang. Lambat laun karena banyak yang bermukim di Pegagan tersebut, maka jadilah perkampungan yang disebut kampung Pegagan, asal kata dari Pegagaan.

Untuk memimpin perkampungan yang disebut kampung tersebut, Sunan Gunung Jati menetapkan murid Mbah Kuwu Cirebon bernama Syekh Mukhamad yang berasal dari Syam dan terkenal dengan sebutan Syekh Mengger (Monggor).

Namun Ki Mengger tidak lama menjadi gegeden daerah tersebut karena ia diminta pulang oleh orang tuanya untuk menajadi pemimpin negeri Syam. Sebagai penggantinya Sunan Gunung Jati menunjuk Patih unggulannya yang bernama Ki Banjaran dengan gelar Ki Cangak Putih. Ia dibantu putrinya yang bernama Nyi Mas Ayu Kendini yang berwajah cantik, beliau rajin membantu orang tuanya dalam mengolah sawah dan juga ikut meluaskan wilayah dengan membakar hutan sehingga wilayah itu semakin luas.

Disamping itu ia juga trampil mengatur tata praja, maka tidak menghereankan apabila peran Nyi Mas Ayu Kendini semakin terkenal. Saking kagumnya penduduk terhadap Nyi Mas Ayu Kendini atas kepandaian dan kecantikannya, maka dijuluki Bidadari Dwei Nawang Wulan. Pemandian Dewi Nawang Wulan sampai sekarang masih ada di komplek makam benjaran namanya Balong Widadaren.
Wilayah kampung Pegagan sangat luas dan memanjang ke barat sampai ke wilayah Panguragan (Blok Gempol Murub), bahkan ada wilayah Pegagan yang berada di daerah simbal Cantilan Jagapura yang luasnya kurang lebih 5 hektar. Hal ini di sebabkan pembakaran hutan yang dilakukan oleh Nyi Mas Ayu Kendini yang apinya meletuk terbawa angin dan jatuh di Daerah Simbal. Sekarang Wilayah tersebut sudah resmi masuk di Wilayah Jagapura melalui musyawara antara Kuwu Pegagan dan Kuwu Jagapura.

Dengan Pimpinan Ki Ageng Putih dan Putrinya, kampung pegagan bertambah maju, tertib dan teratur, penduduknya subur makmur tidak kurang sandang pangan.
Perkampungan Pegagan mampunyai Cantilan :
1. Cantilan Dukuh
2. Cantilan Kroya

Nyi Mas Ayu Kendini terkenal bukan karena pandai mengatur tata praja dan keterampilan serta peretanian saja, tetapi juga karena kecantikannya. Sehingga banyak pemuda yang tergila-gila pada putri Sekar Kedaton Pegagan. Diantaranya yang pertama-tama datang melamar ialah Rambit, lamaran itu langsung diterima oleh Ki Benjara tanpa berunding dengan putrinya. Padahal putrinya tidak mencintainya. Saat pernikahan akan dilangsungkan, Ki Benjara serta orang-orang Pegagan sangat kaget, karena putri Sekar Kedaton ada yang menculiknya. Tentu saja R.Ambit sangat murka dan tanpa banyak tutur lagi segera lari mengejarnya.

R.Sambarasa murid Ki Ageng Jopak atau Ki Gede Kaliwedi yang baru menyelesaikan tapanya dialas jatianom, ditengah alas itu ia melihat R. Sembaga yang sedang menggendong. Nyi Mas Ayu Kendini dalam keadaan pingsan. Tentu saja hal ini menimbulkan kecurigaan pada diri R. Sambarasa. Ia meminta kepada R. Sembaga untuk menurunkan putri itu dari gendongannya, tetapi R.Sembaga untuk menolaknya, terjadilah perang tanding yang sangat seru, masing-masing mengeluarkan ilmunya. Tetapi lama kelamaan R.Sembaga merasa terdesak dan lari meninggalkan musuhnya. Kemudian R.Sambarasa menyembuhkan Nyi Mas Ayu Kendini dari pingsannya, dan diajaklah pulang ke orang tuanya di Pegagan, tetapi Nyi Mas Ayu Kendini menolaknya dan mengajak R.Sambarasa untuk pergi jauh dan menika disana. Mendengar pernyataan Nyi Mas Ayu Kendini yang tulus maka R.Sambarasa berdiam diri tidak sampai hati menolaknya. Namun pembicaraan itu terputus karena kehadiran R. Ambit yang langsung menyerangnya duduk masalahnya, tetapi R. Ambit tetap tidak percaya, hingga terjadilah perang tanding yang sangat seru, yang kedua-duanya mengeluarkan ilmu andalannya. Tetapi lama kelamaan R. Sambarasa dapat dirobohkan oleh R. Ambit dan ditendangnya ke dasar jurang. Setelah siuman R. Sambarasa menemui gurunya Ki Gede Kaliwedi.

Kembalinya Nyi Mas Ayu Kendini ke Pegagan disambut gembira oleh rakyat Pegagan, lebih lebih orang tuanya Ki Benjara.

Untuk tidak membuang waktu segera Ki Benjara melangsungkan pernikahan dengan R.Ambit. Tetapi lagi lagi mengalami kegagalan karena kehadiran Ki Ageng Jopak yang datang menuntut balas atas kekalahan R.Sambarasa muridnya, apalagi posisi muridnya adalah benar, maka tanpa banyak bicara lagi langsung Ki Ageng Jopak menyerang R.Ambit. Untunglah bon memisahkannya dalam garis penuturan bukan jodohnya tetapi jodoh R.sambarasa.

Di Keraton Kedaton, Sinuhun Gunung Jati kedatangan tamu dari tanah seberang yang maksudnya mau menjemput Ki Benjara bersama keluarganya untuk dinobatkan menjadi raja di negerinya. Mendapat permintaan itu, Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu tidak bisa menolaknya. Selanjutnya Ki Benjara bersama dengan Nyi Mas Ayu Kendini dan suaminya R.Sambarasa berpamitan kepada Sunan Gunung Jati serta Mbah Kuwu Ki Cakrabuana untuk meninggalkan Pendukuhan Pegagan. Adapun untuk gegedennya Pedukuhan Pegagan diserahkan pada Syekh Magelung Sakti yang ada di Pedukuhan Karang Kendal.

Memasuki Abad 17 tepatnya tahun 1628 tentara mataram dibawah pimpinan Sultan Agung menyerang Belanda di Batavia. Serangan ini gagal, karena kekurangan makanan dan serangan penyakit malaria. Memang saat itu transportasi tidak mudah seperti sekarang, maka kegagalan ini oleh pimpinan tentara Mataram di jadikan pengalaman untuk serangan berikutnya.

Seluruh pasukan diperintahkan untuk melucuti senjatahnya dan di kumpulkan lalu di kubur berjajar dua, makanya dari Cirebon sampai Indramayu terutama Kapetakan dan Cirebon Utara hamper di setiap desa di pinggir jalan raya ada makam berjajar dua, hal ini dilakukan sesmata-mata untuk mengelabui Belanda.

Pada suatu saat kampung Pegagan dan Karang Kendal disinggahi tentara Mataram yang membaur dengan penduduk dan banyak pula yang melakukan paerkawinan dengan penduduk setempat. Mereka memilih tempat di tengah yaitu di Desa Dukuh, karena tempatnya agak sepi jauh dari jalan raya tetapi mudah menghubunginya manakala ada berita perjuangan. Rombongan ini dipimpin oleh Raden Antrawulan yang menetap di Dukuh.

Memasuki abad 18 tepatnya tahun 1808, Gubernur Jenderal Belanda Deanless merombak susunan tata praja, khususnya di tanah jawa, yaitu :
1. Raja-raja akan digaji oleh Belanda dan tidak boleh mengambil Pajak kepada masyarakat.
2. Pergantian Sultan khususnya di Cirebon dicampuri oleh Belanda.
3. Adipati yang menguasai Kadipaten diganti dengan Bupati yang menguasai Kabupaten serta dapat gaji dari Belanda.
4. Ki Gede / Ki Ageng diubah menjadi Kuwu dan medapat bengkok.

Peninggalan sesepuh Pegagan yang perlu dilestarikan adalah:
1. Ki Jati bereupa kayu jati yang telah memfosil, terletak di depan Balai desa Pegagan Kidul, yang memiliki makna hati-nati dalam mengendalikan pemerintahan.
2. Makam Tumpeng, asalnya dari buah tumpeng yang dikubur berada di sebelah utara Balai Desa Pegagan Kidul, memiliki makna dalam mengendalikan pemerintahan Desa harus lempeng dan jujur.
3. Balong Dalem, memiliki makna hendaknya berpikir yang dalam dan sabar ketika menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Balong Dalem ada di sebelah timur Balai Desa Pegagan Kidul.
4. Buyut Semut ada di sebelah timur Balong Dalem yang memiliki makna harus emut, eling kepada yang Maha Kuasa jangan sampai bertindak angkara murka.

Pada saat Cirebon membara sekitar tahun 1816 – 1818 yang dikenal Perang Kedodongdong, yaitu perlawanan masyarakat Cirebon terhadap penjajahn Belanda dibawah pimpinan Begus serit. Hampir seluruh kuwu yang berada di wilayah Cirebon membantu perjuangan tersebut, baik yang terang-terangan maupun yang dibawah tanah, khususnya kuwu dan masyarakat perjuangan itu, diantaranya adalah tokoh-tokoh Ki Belang, Ki Laisa, Ki Salam dan Ki Lamus (Ki Tika).

Alat yang digunakan semasa perjuangannya, yang sekarang berupa benda pusaka dan masih tersimpan oleh anak cucunya, diantaranya adalah tombok, arti yang biasa berjalan sendiri, bendera waring dan baju antakesuma.

Desa Pegagan mengalami pemekaran pada tahun 1981, menjadi Desa Pegagan Kidul dan Desa Pegagan Lor.

Adapun nama-nama Kepala Desa yang diketahui adalah Desa Pegagan Kidul, sejak tahun 1908 :

1. Ki Narpijan
2. Ki Baijan
3. Ki Laisa
4. Ki Sam
5. Ki Kasem
6. Ki Resmi
7. Ki Salam
8. Ki Kemisat
9. Ki Samad
10. Ki Silem
11. Ki Nerfan
12. Ki Akim
13. Ki Wasiem
14. Ki Sesmpit
15. Sarbinga
16. Ki Ketimpen
17. Ki Dir
18. Ki Kireja
19. Ki Kasti
20. Ki Lampar/Kiwarasesntika
21. Ki Ketimpen
22. Ki Jiyem
23. Ki Suwada
24. Ki Madrais
25. Ki Wangen
26. Ki Muna
27. Ki Lebon
28. Ki Dasnia
29. Ki Padmanegara
30. Ki Darisem
31. Ki Senjani / H.Bakri
32. Ki Darmi
33. Ki Tuba
34. Ki Kamsia
35. Ki Wardeni
36. Ki Arja
37. Ki.H Ali
38. Ki Wangsa
39. Ki Bulyamin
40. Ki Abdulah Sajan
41. Ki Sabil Supeno : – 1969
42. Ki H. Kasanah : 1969 – 1981
43. Ki H. Maksudi (Pjs) : 1981 – 1985
44. Ki H. Dasita : 1985 – 1995
45. Ki Wadira : 1995 – 2003
46. Ki Rusli : 2003 – sekarang.


Desa Pegagan Lor :
1. Ki Dalisa (Pjs) : 1981
2. Ki Dalisa : 1981 – 1993
3. Ki Rokhmat : 1993 – 2003
4. Ki Dedi Asmadi : 2003 – sekarang.